TAN MALAKA PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN
MENGENAL
SOSOK TAN MALAKA PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN
Tulisan ini
ditulis oleh Anggota Luar Biasa Mahasiswa Pecinta Alam justitia Fakultas Hukum
Unlam Kanda Denny Surya Pribadi, SH tapi tulisan ini sudah selesai sebelum
beliau memperoleh gelar sarjana lo.. mungkin karena satu dan lain hal sehingga
tulisan ini tidak tersentuh sama sekali tapi beliau sudah aktif menulis sejak
masa es em aa (gosipnya) tulisannya pun sering dimuat dimedia cetak kebanggan
banua dan mungkin juga suatu saat bakalan ada tulisan beliau yang nongkrong di
media nasional (ngarep)hehehe, dari pada panjang lebar mending cekidot aja ya
langsung, selamat membaca semoga bermanfaat.
Dibanding
Soekarno, Hatta, Soedirman, atau pahlawan nasional lain, nama Tan Malaka
bukanlah apa-apa. Dia tidak terlalu dikenal publik. Dulu, tiap orang termasuk
mahasiswa yang mengagumi perjuangannya bahkan harus berhadapan dengan aparat.
Bagi penguasa Orde Baru (Orba), Tan Malaka adalah momok. Setiap orang yang
mengaguminya harus dicurigai
Empat tahun
sebelum terjadi Sumpah Pemuda, enam tahun sebelum Hatta menulis brosur
“Mencapai Indonesia Merdeka” pada 1930, atau bahkan delapan tahun sebelum
Soekarno menulis brosur “Ke Arah Indonesia Merdeka” pada 1932, Tan Malaka telah
menulis “Naar de Republik Indonesia” yang berarti “Menuju Republik Indonesia”.
Ketika tulisan tersebut muncul, belum pernah ada tulisan yang mengulas
cita-cita kemerdekaan Indonesia. Artinya, Tan Malaka adalah pemikir dan pejuang
politik pertama di Indonesia yang mengajukan konsep negara Republik Indonesia
(RI).
Namun, terlalu
sedikit orang yang mengerti tentang Tan Malaka. Subjektivitas plus politisasi
sejarah ala Orba membuahkan gambaran gelap tentang peran Tan Malaka bagi
perjuangan republik ini. Akhirnya, Diponegoro, Imam Bonjol, Soekarno, Hatta,
Soedirman, dan sederet nama pahlawan nasional lain juga lebih glamour dibanding
Tan Malaka. Di antara nama-nama tersebut, Tan Malaka bukanlah apa-apa.
Tan Malaka
adalah sosok misterius pada kancah pahlawan nasional. Bahkan keberadaannya
tergolong kontroversial. Seorang muslim taat yang turut melahirkan Partai
Komunis Indonesia, yang dikenal sebagai partai orang-orang atheis. Seorang
pendukung Soekarno untuk menjadi presiden pertama RI, namun dia adalah orang
pertama yang melawan ketika Soekarno mulai menerapkan demokrasi terpimpinnya.
Lalu apa
menariknya membicarakan Tan Malaka saat ini? Hal yang pasti adalah bahwa Tan
Malaka berjuang tanpa pamrih. Dalam sejarahnya, Tan Malaka tak pernah menduduki
jabatan-jabatan birokrat, seperti Soekarno ataupun Hatta. Perjuangan politik
Tan Malaka lebih diwarnai pembangkangan terhadap penguasa. Demikian juga,
kehidupannya bahkan lebih terkenal dari penjara ke penjara. Ketika zaman
imperialisme Belanda, dia harus mendekam di penjara. Ketika Jepang berkuasa,
dia harus dipenjara, bahkan ketika Indonesia telah merdeka pun Tan Malaka harus
dipenjara. Dia selalu jadi pembangkang penguasa. Perjuangannya tidak pernah
diakhiri suatu jabatan publik. Nyaris tanpa pamrih. “Siapa ingin merdeka, harus
berani di penjara,” teriaknya. Bahkan, ketika telah mati pula, Tan Malaka harus
menjadi nama yang terpenjara.
Bangsa ini tak
pernah mengakui keluarbiasaan ide Tan Malaka. Namanya lebih dikenal dengan
tokoh antagonis dalam sejarah pahlawan nasional. Setidaknya, nama Tan Malaka
dianggap sebagai momok bagi sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa karena
ideologi politiknya yang “kiri”. Keberpihakannya pada perjuangan pada tataran
grass root, dengan melibatkan pada pengorganisasian petani dan buruh melahirkan
kecurigaan oleh kelompok mapan.
Tan Malaka lebih
terkenal karena pikiran-pikirannya. Dia lebih banyak berjuang melalui ide-ide.
Inilah barangkali salah satu alasan kenapa bangsa ini tidak terlalu menganggap
penting perjuangannya. Selama ini, orang mendominasikan peran pahlawan-pahlawan
yang berjuang melalui perang. Tan Malaka memilih berjuang dengan caranya
sendiri, bukan dengan senjata. Orang pun, diakui atau tidak, akhirnya terjebak
pada pola pandang kebenaran, materialis. Mengukur bentuk perjuangan dari sejauh
bentuk fisik yang telah terbangun. Pejuang bertempur dengan penjajah. Sekian
nyawa penjajah hilang. Atau pada konteks kekinian, sejauh mana pembangunan yang
telah dilakukan seorang pejabat.
Tak heran
pejabat akhirnya berlomba membangun prasasti, mengenang hasil perjuangan
melalui kebendaan. Maka, wajar apabila Marx mengukur sejarah manusia pun
melalui materi. Logika pikir kebanyakan orang terbentur pada materialisme.
Logika pikir semacam ini lalu lari ke arah penghargaan perjuangan secara fisik.
Seorang atlet mendapat penghargaan lebih dibanding seorang peneliti. Ide telah
dikalahkan fisik. Padahal Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan bahwa revolusi
pun berawal dari sebuah gagasan. Artinya, perubahan sekecil apapun pasti
diawali ide, pikiran. Lalu kenapa orang lalu menganaktirikan “pejuang ide”? Tan
Malaka misalnya.
Dalam perjuangan
mewujudkan ide inilah, kadang-kadang jabatan jadi alat. Dan, Tan Malaka
konsisten dengan itu. Inilah hal luar biasa yang cenderung menjadi barang
langka saat ini. Jabatan, status yang merupakan alat mematerialkan ide justru
telah menjadi tujuan, meskipun terjadi distorsi antara tujuan ide dengan
kondisi alat.Dari sinilah menjadi menarik
jika dianalogikan dengan kondisi politik negeri ini. Kritik Amien Rais terhadap
Gus Dur barangkali adalah pengingatan bahwa jabatan presiden bukanlah tujuan
untuk mendukung Gus Dur dalam SU setahun lalu. Dukungan Amien Rais untuk
menaikkan Gus Dur jadi presiden pada SU bisa jadi adalah untuk mewujudkan
tujuan reformasi. Gus Dur jadi presiden bukan tujuan, tetapi alat. Dan, ketika
Gus Dur belum juga mampu menjawab cita-cita penggulingan rezim Soeharto,
barangkali Amien Rais bermaksud mengingatkan.
Tetapi, itu
mungkin, karena Amien Rais pun bukan Tan Malaka. Bisa jadi ada tendensi di
balik kritik penurunan Gus Dur. Bisa jadi Amien Rais pamrih, mengharap sesuatu
dengan kritiknya. Dan, itu bukan hanya Ketua MPR tersebut. Bisa jadi Akbar
Tandjung, Megawati, dan semua pemimpin di negeri ini, atau bahkan kita.
Ironisnya, inilah gambaran “pahlawan-pahlawan” sekarang. Negeri ini telah
didominasi orang-orang pamrih yang mengharap keuntungan dari apa pun yang
dilakukan. Meskipun untuk tujuan itu, mereka mengorbankan rakyat kecil.
Comments