Agama,
Demokrasi, dan Politik Rasional
POLEMIK
menarik seputar perlunya pendidikan agama di sekolah terjadi tahun 1785 antara
Patrick Henry dan James Madison, keduanya dari Virginia , Amerika Serikat.
Agama dan demokrasi
Mengangkat
kembali polemik Henry-Madison menjadi penting saat robohnya Orde Baru,
menajamkan lagi beberapa agenda politik kelompok agama yang sempat sayup. Salah
satu agenda yang paling santer adalah rekomendasi kodifikasi Syariat Islam
dalam hukum positif. Sebuah agenda kontroversial yang banyak mendapat reaksi keras
kelompok liberal baik sekuler maupun kalangan agama sendiri.
Memposisikan
agama dalam framework demokrasi-liberal, merupakan persoalan tersendiri.
Masyarakat yang diatur oleh satu doktrin agama bukan lagi masyarakat warga (civil
society) tetapi masyarakat beradab (civilized society). Masyarakat
beradab melindungi kelompok agama minoritas tetapi tidak menjamin setara hak
dan kewajiban masing-masing individu sebagai warga negara. Sedangkan, konsep
masyarakat warga justru menuntut kesetaraan hak dan kewajiban masing-masing
warga negara.
Benturan
antara kelompok liberal dengan agama berkisar pada poros ideologis itu.
Terpatrinya prinsip politik seperti kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas,
menurut kelompok liberal mengandaikan absennya kiprah politis agama. Kelompok
sekuler-liberal selalu mencurigai persemaian benih-benih totalitarianisme pada
setiap agenda politik kelompok agama.
Di sisi lain,
kelompok agama juga menaruh kecurigaan yang sama kuat. Agenda kelompok liberal
seperti penjaminan kebebasan mengikuti suara hati, dicurigai sebagai konspirasi
pelemahan komunalisme agama. Individualisme adalah duri dalam daging bagi agama
yang menekankan integrasi dan hierarki.
Pertanyaannya,
apakah benar demokrasi-liberal mengandaikan redupnya kiprah politis agama? Penulis
menganggap klaim itu masih bisa dipersoalkan. Jerat politis yang dipasang
kelompok liberal sebenarnya memangsa ideal-ideal politik yang mereka junjung
sendiri. Tuduhan totalitarianisme, akhirnya, bisa ditimpakan pada mereka. Harus
dicatat, demokrasi tidak hanya menjamin hak-hak individu tetapi juga hak
kolektif. Setiap kelompok dijamin haknya untuk mengatur diri sendiri dan juga
berpartisipasi secara politis.
Deliberasi publik
Demokrasi
disangga oleh apa yang disebut deliberasi publik. Deliberasi publik memuat tiga
komponen pokok yang saling bertautan. Pertama, nalar publik. Nalar publik
adalah format penalaran yang harus diajukan setiap warga negara setiap kali
mereka mengusulkan, mendukung atau menolak hukum atau kebijakan yang melibatkan
koersivitas pemerintah.
Kedua, rangka
institusional. Kebebasan setiap warga negara untuk turut serta dalam diskursus
publik, harus dijamin dalam satu rangka institusional yang adil.
Ketiga, budaya
politik. Budaya politik adalah keterbiasaan setiap warga negara untuk mengadopsi
nalar publik dalam mengajukan agenda-agenda politisnya.
Demi
keberlangsungan demokrasi, setiap agenda kelompok-kelompok kepentingan harus
disokong oleh nalar publik. Demokrasi tanpa nalar publik hanya akan menjadi
bulan-bulanan manipulasi berbagai kelompok kepentingan. Kelompok sektarian
macam Nazi, misalnya, pernah memanipulasi demokrasi. Hitler, atas nama
kebebasan berpendapat, berpidato mengobok-obok sentimen anti-semit guna
mendongkrak dukungan politisnya. Sebuah proses politik yang berujung pada
totalitarianisme yang nyaris patologis.
Benih-benih
totalitarianisme tidak akan berkembang bila proses deliberasi publik sungguh
dijalankan. Setiap kelompok akan berusaha merebut hati publik secara rasional.
Sebuah perwajahan proses politik yang rasional. Proses yang akan menempatkan
nilai-nilai politik inklusif seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan
solidaritas di atas segala kepentingan eksklusif.
Apa yang
menarik dari polemik Henry-Madison adalah upaya Henry berpolitik secara
rasional. Henry tidak memanipulasi demokrasi. Argumentasinya tidak didasarkan
pada nilai-nilai transendental Kristiani guna menjaring masa.
Ia juga tidak
berpidato berapi-api menyerang Madison
sebagai musuh agama. Yang dilakukannya adalah mencoba meraih justifikasi publik
secara rasional dengan menyandarkan argumentasinya pada nilai-nilai politik
(keutamaan warga negara).
Kiprah politik
agama tidak mesti asimetri dengan demokrasi. Ia menjadi asimetri ketika
mengabaikan diskursus publik dan memasang harga mati. Setiap agenda yang
berakar dari doktrin agama harus disokong oleh justifikasi publik. Artinya,
bukan sekadar sah secara sepihak, tetapi diterima secara publik.
Henry tidak
berpikir bagaimana memenangkan agendanya secara sepihak. Ia dengan berani
memasuki kancah diskursus publik. Berpolemik habis-habisan guna meyakinkan
publik secara rasional. Harga sebuah keyakinan, dibayar bukan dengan
simbol-simbol agama tetapi nalar publik.
Comments