Si Panji, dan Dongeng Anak Indonesia Seri Kancil dan Harimau


Si Panji, dan Dongeng Anak Indonesia
Seri Kancil dan Harimau 
Sang surya sudah terlelap dalam tidurnya.Lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan di luar sudah mulai sunyi.Jam dinding telah menunjukkan pukul Sembilan kurang sepuluh menit. Panji segera menyiapkan buku sekolah, pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan, dan alat-alat sekolah yang diperlukan untuk besuk pagi. Setelah itu iabergegas mengambil buku dongeng yang baru dipinjam dari perpustakaan sekolahnya.Panji terbiasa membaca dongeng sebelum tidur.Kebiasaan itu terjadi karena sewaktu kecil, Ibu Panji selalu mendongeng untuk Panji.
Seperti biasanya, Ibu Panji selalu menemani Panji sebelum Panji terlelap di separuh malam.Malam ini Panji membaca cerita Si Kancil, Seri Kancil dan Harimau.Setelah selesai, ia menaruh buku di rak dekat tempat tidurnya, lalu Ia merebahkan tubuhnya di dekat pangkuan ibunya yang baru saja duduk di pinggir dipannya.
“Ha ha ha…., kancil itu cerdas dan cerdik sekali ya Bu. Masa, Harimau yang dijuluki sebagai raja hutan pun mampus oleh akal kancil”, celoteh Panji. “ Memangnya ceritanya bagaimana?”, sergah ibunya. Lalu Panji pun menceritakan kembali buku yang dibacanya secara singkat:
“Begini Bu, dongeng ini di mulai ketika si Kancil sedang berjalan-jalan di hutan, ketika sedang asik berjalan-jalan sambil makan rumput tiba-tiba Kancil dikagetkan dengan suara auman di depannya, ternyata itu adalah seekor Harimau yang tampaknya sedang kelaparan. Tunggu Dulu Harimau, kalau kamu makan aku, kamu akan kehilangan cerita rahasia sabuk sang dewa, siapa yang memakainya akan bisa terbang dan kuat seperti dewa. Merekapun segera berjalan menuju pinggir sungai di selatan hutan, ketika sampai ditujuan tampak sebuah benda berwarna cokelat hitam melingkar di sebuah batu besar menyerupai sebuah sabuk.Kalau kamu mau memakai sabuk dewa tersebut kamu harus berjalan mundur kearah sabuk tersebut dan jangan sekali-kali menengok ke belakang, agar dewa pemilik sabuk itu tidak mengetahui kehadiranmu.Sebab mereka sedang asyik mandi di sungai.
Harimau, sekarang kamu boleh berjalan mundur kearah sabuk itu.Tapi sebelum itu aku hitung dulu yach, aku mau sembunyi takut nanti dimarahi dewa kalau melihatku.Cepat hitung Cil, aku sudah nggak sabar mau jadi raja hutan nih.!!!Ok ku hitung yach, “kata Kancil”!!!! 1.2.3, sudahapa belum? Tanya Harimau. Belum, jawabKancil sambil berlari meninggalkan harimau.4.5.6.7, sudah apa belum? Tanya Harimau lagi.Belum, jawab Kancil.8.9.10, sudah atau belum”, Tanya Harimau.“Sudah, teriak kancil yang sudah jauh meninggalkan Harimau.Tanpa berpikir panjang Harimau pun segera berjalan mundur menuju kearah benda yang menyerupai sabuk tersebut.Ketika tubuhnya memasuki kedalam lingkaran tersebut tiba-tiba benda tersebut bergerak melilit tubuh Harimau.Harimau tampak senang karena dalam pikirannya sabuk tersebut sedang bereaksi memberi kekuatan ke tubuhnya, tetapi tiba-tiba lilitan itu semakin lama semakin kuat dan membuat harimau kesakitan.Alangkah kagetnya Harimau ketika dihadapannya muncul kepala ular piton raksasa.Ular piton itu terlampau besar dan akhirnya matilah Harimau tesebut dengan tulang-tulang yang remuk terlilit oleh ular piton”.
“O, ceritanya begitu”, Ibu Panji tersenyum sambil menatap mata Panji dengan pandangan redup setengah mengantuk setelah sehari mengurus keperluan rumahnya. Ibu Panji pun memberikan tanggapannya “Iya, Kancil itu sangat cerdas dan cerdik. Tetapi kecerdasan dan kecerdikannya hanya untuk menyelamatkan dirinya namun membahayakan bagi yang lain. Seharusnya, Kancil tidak boleh menipu dan membahayakan Harimau sampai mati dengan setragis begitu.Yach, memberi pelajaran saja sudah cukup, agar Harimau tidak semena-mena.Belum tentu kan, kalau Harimau mau memakan kancil?Dan itu juga bisa berarti orang besar nggak boleh sombong atau jangan mengabaikan orang kecil karena orang kecil bisa membahayakan orang besar kalau dia didlolimi”. “Nah, Ibu punya cerita nihtentang anak Indonesia yang benar-benar cerdas, cerdik, jujur, dan baik hati.Ini kisah nyata yang membuat bangga bangsa Indonesia.Ia tadinya anak desa seperti kamu. Ketekunannya membaca dan belajar ilmu pengetahuan, serta pendidikan agama, Ia kini menjadi orang yang sangat hebat di dunia. Kecerdasan dan hasil karyanya tidak membahayakan bagi orang lain tetapi justru memberikan manfaat bagi orang lain.Ia tidak sombong, namun suka menolong. Hasil karyanya kini digunakan di seluruh dunia” Tiba-tiba Panji menyahut “Aku tahu, itu Sukarno, kan Bu. Maksud Panji Presiden Soekarno, kan Bu?”Tokoh hebat yang disegani dunia karena kecerdasan, keberanian, dan kecerdikannya itu, kan Bu?”Lagi-lagi ibunya tersenyum dan senyumnya membuat Panji merasa tebakannya tidak meleset.Saat tengah membayangkan kehebatan Sukarno mengelabuhi Belanda dan mengusir Jepang dari bumi Indonesia, tiba-tiba bayangan itu dipecahkan oleh suara Ibunya.Meski tidak keras, suara itu membuat Panji penasaran. “Bukan…., bukan Presiden Soekarno, tetapi ….”.“Tetapi siapa Bu”, kejar Panji ingin tahu.“Ia bernama Habibi”, jawab ibunya dengan senyum kekaguman pada sosok tersebut.Belum selesai cerita yang dikisahkan oleh ibunya, Panji sudah melangkahmenjelajahi dunia mimpi dalam tidurnya.Mimpi menjadi anak Indonesia yang cerdas,cerdik, rendah hati, namun berguna bagi bangsa dan Negara.
~oOo~
Sang fajar tersenyum tatkala suara ayam berkokok mulai bersahutan.Bulir-bulir embun di rerumputan belum jua mengering.Panji segera menyibakkan selimut tebal yang semalam penuh membalut badannya untuk menepis hawa dingin di musim pancaroba ini.Dengan sigap dia bangkit dan menuju kamar mandi, mengambil air wudhu, menyiapkan sarung, koko lama yang dibeli saat lebaran tahun lalu beserta kopyah putih warisan kakeknya.Kopyah inilah yang tidak pernah lepas dari kepala Panji.
Suara adzan subuh mulai berkumandang.Panggilan mulia ini mengajak insan untuk melupakan sejenak urusan keduniawian lantas menyiapkan diri untuk menghadap Sang Pencipta semesta raya ini.Panji berlari secepat kilat menuju surau untuk memenuhi panggilan adzan tadi.
          Panji tergolong anak yang rajin.Ia selalu rajin menimba ilmu dan bekerja membantu orang tua. Tempat tidurnya tidak pernah acak meski ia anak laki-laki. Ia selalu disiplin menaruh semua barangnya. Setiap subuh sebelum berangkat sekolah, dia menyempatkan waktu untuk mengikuti pengajian ilmu agama di sebuah surau kecil yang cukup jauh dari rumahnya.
         “Bapak…Panji berangkat dulu.”ujarnya seraya berlari kecil. Dia melompat dari beranda rumah dengan gerakan lincah seperti pemain sirkus negeri matador.
          “Tunggu, Nak!”sergah sang ayah. Panji pun urung melangkah.
         “Ada apa, Pak?”tanyanya sopan sembari mendekat ayahnya. Sejak kecil Panji selalu patuh terhadap kedua orang tuanya.Apa yang dikatakan mereka, Panji anggap sebagai titah raja. Sekali pun dia tidak pernah membangkang.
          “Hari ini adalah Hardiknas, biasanya sekolah diliburkan. Setahu Bapak, kebiasaan ustadz Sanusi jika sekolah libur selalu mengakhiri pengajian hingga jam Sembilan. Apa tidak sebaiknya kau bawa bekal dari rumah saja? Nanti kau bisa sarapan di sana selepas ngaji.”usul sang ayah. Panji pun diam beberapa saat, lantas tersenyum simetris dan menjawab, “Boleh, Pak. Panji tunggu di beranda rumah.”katanya seraya duduk di kursi teras. Sementara sang ibu menyiapkan nasi bungkus untuk bekalnya sarapan.
       Begitu dapat, dia kembali mencium punggung tangan kedua orang tuanya, mengucap salam, lantas mengayuh sepeda butut dengan penuh semangat yang menggebu. Meski udara dingin di waktu fajar seakan meremukkan tulang, tekad Panji tak jua surut. Kesuksesan tidak akan diraih tanpa sebuah kerja keras. Kalimat filosofi itulah yang senantiasa terpatri di ulu hati Panji.
Di tiga perempat perjalanan, sepeda Panji terpaksa dituntun sebab melewati jalan yang berlumpur dan bejibun kubangan air.Hujan deras yang mengguyur semalam, membuat sebagian jalan yang belum diaspal becek.Saat itulah dia bertemu pengemis tua yang duduk di pinggir jalan.Hati Panji tergerak.Karena iba, Panji memberikan nasi bungkusnya pada si pengemis.Itulah salah satu tabiat Panji.Dia begitu baik hati, rendah hati, namun sangat rajin, dan pandai.
Panji terlahir dari keluarga sederhana.Dia tinggal di sebuah rumah sederhana di desanya.Tapi hal itu tidak membuatnya merasa rendah diri di sekolah.Dia selalu optimis dalam melangkah. Bahkan dia selalu mengangkat nama kedua orang tuanya sebagai juara kelas di setiap semester. Namun hal itu tidak lekas membuat Panji pongah dan besar kepala. Keuletannya justru menginspirasikan pada siswa yang lain untuk selalu rajin belajar meski sudah berhasil memperoleh nilai bagus.
         Panji memang anak yang cerdik dan istimewa. Ustadz Sanusi pun mengangkat topi atas otak brilian anak berkulit hitam manis ini. Sebenarnya Ia tidak terlalu cerdas, tetapi ketekunannya membaca dan keberaniannya bertanya dan mencoba menerapkan hal-hal yang dipelajari menjadikannya menjadi anak yang banyak akal. Suatu hari terjadi penjambretan di sebuah pasar tradisional.Seperti biasa, sehabis pulang sekolah Panji menggembalakan kambing milik ayahnya di kaki bukit. Saat hendak pulang, teriakan warga akan adanya jambret menelusup telinganya. Secara kritis dan sistematis Panji pun mulai memutar otak. Dia mengatur siasat jitu.Secepatnya dia berlari dan menggiring kambing yang jumlahnya puluhan itu untuk masuk ke sebuah gang. Panji sudah memprediksi jambret itu akan melewati gang ini. Ternyata benar, jambret itu pun tidak bisa berlari sekencang sebelumnya.Langkahnya terhambat dengan kambing-kambing Panji.Warga pun dengan mudah menangkap jambret tadi, kemudian diseret ke pihak yang berwajib.Semua itu berkat akal cerdik Panji.
~oOo~
Selain selalu aktif mengikuti pengajian subuh, Panji juga tidak pernah absen di sekolahnya.Pagi-pagi sekali dia sudah berangkat.Sepeda butut itulah yang dengan setia mengantarkan Panji ke sekolah yang berjarak tidak kurang dari 6 kilometer. Meski Panji harus kepanasan karena teriknya sang raja siang di daerah tropis ini, semangat Panji memerangi kebodohan tak jua leleh. Baginya, panas atau hujan yang terkadang memandikan tubuhnya hanyalah batu sandungan kecil yang tiada berarti.Sedikit pun tak membuatnya patah arang. Begitu sampai di sekolah, langkah kaki Panji selalu mengarah ke perpustakaan, tidak seperti mayoritas siswa yang segera menuju kantin kesayangan mereka.Membuka jendela dunia dengan buku itu lebih bermashlahat ketimbang memenuhi isi perut, itu prinsipnya.
          Belakangan ini, sekolah Panji digegerkan dengan hilangnya dinamo sepeda milik para siswa, tidak terkecuali milik Panji.Dua hari lalu dimano sepeda milik Panji raib digasak maling.Panji pun merasa geregetan.Betapa tidak, hal semacam itusudah terjadi tidak kurang dari sepuluh kali dan hingga kini belum terendus siapa pelaku jahilnya.Namun dia menaruh kecurigaan terhadap siswa bernama Anto.Sejak beberapa hari terakhir, gelagat Anto terlihat aneh. Hampir setiap jam pelajaran dia selalu izin kepada guru yang mengajar di kelas untuk pergi ke kamar kecil. Panji tidak mau menuduh begitu saja tanpa bukti yang jelas.Ustadz Sanusi pernah mengajarinya bahwa menuduh tanpa bukti kebenaran tuduhannya adalah fitnah.Dan fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan.Sebagai orang yang beriman dan taat beragama, Panji tidak berani menafikannya lantas bertindak ceroboh mengikuti alur nafsu.Bukan karakter Panji jika bertindak ngawur.Setiap menjumpai masalah, dia selalu memakai seribu satu akal seperti tokoh dongeng asli Indonesia yang biasa diceritakan ibunya, Kancil yang cerdik dan tokoh-tokoh besar Indonesia.
Pagi itu jam pelajaran olah raga. Semua siswa melakukan pamanasan otot di lapangan upacara depan kelas. Mata Panji selalu mengarah pada siswa berambut keriting, Anto. Lima belas menit setelah pemanasan, tiba saatnya para siswa berlatih spring, ada pula yang melakukan gerakan situp, pushup atau squadjump. Pelan-pelan Anto melangkah meninggalkan mereka.Dengan mengendap-endap seperti kijang kecil yang ingin meloloskan diri dari pemangsa.Sorot mata Panji tidak mau lepas sedikit pun.Beruntung Anto tidak menyadari jika gerak-geriknya selalu diperhatikan Panji.
      Setelah memastikan Anto telah meninggalkan barisan, Panji pun membuntutinya.Panji bersembunyi di balik batako yang ditumpuk saat Anto menuju area parkir.Ternyata benar dugaan Panji selama ini, Anto adalah dalang atas hilangnya dinamo sepeda milik beberapa siswa termasuk dirinya.Ini tidak bisa dibiarkan, wabah ini harus secepatnya diobati, Panji membatin.
      Panji pun mulai mengatur strategi.Selepas jam istirahat pertama, pelajaran bahasa Indonesia segera dimulai. Kebetulan Bu Rahma tidak bisa hadir sehingga digantikan sementara oleh Pak Handoko, kepala bimbingan konseling yang terkenal sangat disiplin, galak namun terkadang lucu.Seperti biasanya, di tengah-tengah jam pelajaran Antopura-pura ingin ke kamar kecil. Panji sudah menebak Anto akan menjalankan aksinya kembali. Akal cerdik Kancil pun pun segera dimulai.
        Pak Handoko menerangkan tentang kemajuan teknologi yang disalah-gunakan mayoritas remaja era glabalisasi ini.Panji mengajukan pertanyaan yang menjurus ke seputar listrik.Perdebatan asyik pun terjadi.
          “Pak, kenapa Tomas Alfa Edison, tidak lahir di Indonesia, Pak?”pertanyaannakal Panji.
    “Ibunya tidak menikah dengan Bapak.Kalau menikah dengan Bapak, si Tomas pasti orang Indonesia…”jawab Pak Handoko.Semuanya tergelak.Kelas sedikit gaduh sehingga Anto merasa tenang sebab dia beranggapan bahwa ketidak-hadirannya di kelas waktu itu tidak terlalu diperhatikan.
          “Saya mau bertanya lagi boleh, Pak?”ujar Panji kembali.
          “Silahkan!”
          “Apa mungkin ada teknologi komputer menggunakan energi dari dinamo?”tanya Panji.
      “Mungkin saja, Panji.Tapi konsekuensinya kau harus punya empat tangan.Dua tangan memegang keyboard, dua tangan lagi memutar dinamo untuk menghasilkan listriknya, ha ha ha…”mereka pun tertawa bersama.
          “O, iya anak-anak. Bapak dengar belakangan ini banyak siswa yang lapor kehilangan dinamo sepeda, benarkah?”
          “Betul, Pak. Kemarin punya saya juga lenyap.”ujar salah satu siswa.
          “Punya saya juga, Pak.”sambut yang lain.
          Saat suasana sedikit lengang.Panji dengan sengaja menyenggol tasnya.
          Dugh!!! Suara tas Panji yang jatuh.Suara aneh itu mengundang kecurigaan Pak Handoko.Sebenarnya sebelum masuk kelas, Panji sengaja memasukkan batu di tasnya. Saat tas itu membentur lantai keramik, akan menghasilkan suara mirip benda keras semisal dinamo. Akhirnya rencana Panji berjalan mulus.Pak Handoko pun mendekati Panji untuk menggeledah tasnya.
          “Panji, ada benda apa di tasmu?”
           “Jangan, Pak. Ini benda berharga.”kata Panji seolah menolak diperiksa.
           “Panji!Berikan tasmu pada Bapak!”
           “Jangan, Pak!”
           “Bapak tahu itu dinamo!Ayo berikan!”paksa Pak Handoko.
      “Jangan!”tolak Panji. Pak Handoko pun mulai naik pitam dan merebut paksa tas Panji lantas membukanya. Betapa terkejut Pak Handoko saat melihat isinya hanya sebuah batu.
           “Bapak telah menuduh saya yang bukan-bukan.”
           “Maaf, Panji. Bapak pikir itu dinamo.”
“Jika Bapak bisa menaruh kecurigaan terhadap saya, kenapa tidak dengan yang lain? Ini tidak adil. Jika Bapak ingin menjadi kepala BK yang baik, geledah juga tas yang lain, itu baru adil.”usul Panji. Itulah salah satu strategi jitunya. Mendapat usulan itu, serta merta Pak Handoko menyuruh semua siswa mengumpulkan tas mereka di depan kelas. Pak Handoko pun memeriksanya satu persatu.Saat perhatian Pak Handoko tertuju pada tas para siswa, secara hati-hati Panji melangkah meninggalkan kelas. Dia bersembunyi di bawah jendela di luar kelas.Diambilnya sebuah cabai kering dari saku celana kemudian dibungkus dengan kertas untuk dibakar.Setelah terbakar, dia meletakkan cabai itu di dekat jendela Pak Handoko, secepatnya dia berlari ke kelas untuk menyaksikan penggeledahan.
       Suasana mulai tegang saat Pak Handoko menjinjing tas Anto. Mimik Pak Handoko terlihat curiga karena tas Anto terasa lebih berat dibandingkan tas yang lain. Dibukanya pelan-pelan tas berwarna hitam itu. Sontak seluruh siswa tercengang manakala melihat tiga dinamo sepeda terselip diantara buku-buku pelajaran Anto.Sementara Anto saat itu tak ada di kelas.
          Angin tertiup, asap cabai yang dibakar Panji menelusup ke ruang kelas. Semua siswa yang menghirup udara bercampur asap bakaran cabai segera terbatuk-batuk. Begitu juga Pak Handoko.Mereka berhamburan keluar ruangan.Beberapa ada yang segera pergi ke kamar kecil yang terletak tidak jauh dari area parkir untuk cuci muka.Pak Handoko pun menuju kamar kecil khusus guru yang menghadap area parkir.Saat secara bersamaan langkah mereka sampai di tempat yang dituju, semua melihat dengan sangat jelas, seorang siswa berambut keriting yang meninggalkan kelas setengah jam lalu dengan alasan ke kamar kecil tengah sibuk mengotak-atik salah satu sepeda siswa.
        “Anto!! Sedang apa kau?!”Hardik Pak Handoko.Anto gelagapan.Wajahnya pucat pasi.Dia tertangkap basah sehingga tidak bisa mengelak.Rencana si Kancil yang cerdik berhasil.
       “Ternyata kau selama ini yang membuat onar!”Pak Handoko memegang lengan Anto dan membawanya ke ruang BK.
         “Am…am…amm..ampun, Pak…! Saya kapok!”sesal Anto.
       Sejak peristiwa itulah, tidak ada lagi kasus siswa kehilangan dinamo sepedanya.Bahkan Anto yang semula nakal, kini menjadi anak yang rajin belajar dan beribadah.Dia insyaf setelah mendapat nasihat dari Pak Handoko dan bersahabat dengan Panji.Semua itu tidak lepas dari akal cerdik Panji, yang terinspirasi dari cerita si Kancil yang cerdik dan Pak Habibi yang cerdas dan baik hati.Setibanya di rumah dengan penuh semangat, Panji menceritakan keberhasilannya itu kepada Ibunya.Lagi-lagi ibu Panji tersenyum dengan tatapan penuh kebanggaan sambil memuji Panji. “Bagus Nak, kamu tidak melaporkan temanmu ke polisi tetapi ke guru BP-mu. Coba saja kalo sampai ceroboh dilaporkan ke kantor polisi lantas dilakukan penangkapan dan penahanan bisa berbahaya bagi masa depan Anto. Belum lagi apabila diliput wartawan, wah keluarganya bisa malu.Ibu bangga padamu, Nak”.
“Panji ingin menjadi anak Indonesia yang pantas disebut kandidat tumpuan Negara dan penerus perjuangan para pahlawan bangsa, seperti Pak Habibi, Bu”.“ Semoga tercapai cita-citamu, Nak”, Ibu mengusap kepala Panji. “Amin”, jawab Panji.




Comments

Popular Posts